Selasa, 27 Juli 2010

Ini Bukan Pameran Seni Jalanan


”Hiphop bukan persoalan persetujuan khalayak, penerimaan massa atau izin kerumunan atas eksistensi kita. Hiphop adalah bagaimana kita berdiri ditengah lautan gerombolan, bersuara dan memberi tanda ditengah masyarakat atas eksistensi kita” – KRS One

Sebelum terlalu jauh membahas ini itu, saya akan terlebih dahulu menegaskan satu hal bahwa yang kawan-kawan FAB lakukan di galeri ini bukan pameran graffiti. Rasanya lebih efektif demikian sebelum kembali kita berdebat tentang hal yang itu-itu saja ketika ada ’seniman jalanan’ (OMG, menggelikan sekali istilah ini) hadir di ruang-ruang mapan seperti galeri, lalu wacana dominan yang lahir hanya seputaran wacana seni jalanan melawan seni mainstream, ilegal atau legal, vandal-bukan vandal, atau mungkin soal gerilya dan komodifikasi. Sudah waktunya kita mengganggap itu semua sesuatu yang sudah lewat, kalau tidak bisa disebut basi. Atau dalam bahasa generasi kita yang dibesarkan dalam budaya massa global, kita bisa menyebutnya ’played out’, ’gak hype atau ’hari gini, ga bangeud’. Bukan artinya permasalahan-permasalahan yang melatarbelakanginya sudah tidak relevan, namun rasanya masih banyak hal yang menarik dan lebih penting, yang sepadan dengan energi yang kita habiskan untuk meributkannya.

Yang pasti, ini bukan pameran graffiti, karena kawan-kawan FAB pula tidak menganggapnya demikian. Mereka dengan sangat sadar bahwa mereka tidak sedang memindahkan jalanan ke dalam galeri. Semua bomber mengamini bahwa tak ada yang bisa menggantikan keringat malam, pegalnya jemari, adrenalin rusuh dan kepuasan menghajar kebosanan-kebosanan tembok yang dihasilkan ruang-ruang publik urban. Mereka pula paham itu semua, mungkin oleh karenanya, pameran ini tidak ada embel-embel ’Street Art Exhibition’ atau ’Graffiti Exhibition’ dalam judulnya.

Lalu tak ada relevansi sama sekali? Tidak juga. Paling tidak secara tehnik dan media. Ketika para anggota keluarga FAB berhadapan dengan media-media konvensional (kanvas misalnya) kita tetap bisa menyaksikan tehnik atau gaya yang sama yang digunakan ketika mereka menghajar dinding-dinding kota. Jika kalian warga Bandung seperti saya yang beredar dari hari ke hari di jalanan Bandung, sedikit dua dikit kalian akan familiar dengan beberapa hal, sapuan spraycan, permainan warna, olah bentuk geometris, karakter (sosok Pope mungkin yang paling familiar), tipografi atau bahkan hanya sekedar tagline fatmarker tertentu. Kali ini masing-masing dari anggota keluarga FAB berkesempatan untuk bereksplorasi dengan cara-caranya masing-masing.

Mulai dari Stereoflow, Cheztwo, Skeed, Pope yang memvisualisasikan karakter nya sangat terlihat merujuk pada proses pembuatan karakter dan komposisi yang biasa ia pakai di tembok-tembok, meski Chezt kali ini memanfaatkan digital print sebagai media atau Pope yang menggambar di atas kertas biasa. Older+ yang mengekspos permainan bentuk dan warna yang didapat dari piece ala wildstyle di atas kanvas. Pula Indy yang bermain-main dengan garis tegas, seolah memberi statement bahwa diluar sana reputasi menarik garis tegas dengan spraycan itu diperhitungkan, terutama ketika kalian menghabiskan waktu ber-jam jam membuat blocking dan gagal total hanya gara-gara tarikan outline yang tidak beres dan kembali memblok nya lagi. Astronautboys yang bermain-main kolase dengan wheatpaste untuk menghadirkan efek raw dari proses postering. Racht4 yang meneruskan tradisi ego bomber-nya persis ketika ia menulis nama nick-nya di jalanan hanya kali ini ia mengkomposisi nama itu lewat eksperimen dengan media kayu. Hingga Shake yang membuat sebuah tembok yang ia gambari dengan piece dan tag, untuk kemudian ditempatkan ditengah tembok-tembok galeri, paradoks cerminan kegelisahannya ketika ia berfikir tentang momen ini; ia dan FAB berpameran di dalam galeri.

Pameran ini bukan pameran graffiti. Sederetan karya mereka itu hanya relevansinya. Sebuah momen interupsi ketika mereka mulai kembali mempertahankan tradisi menahun di jalanan dengan cara legal atau tidak legal. Siang malam bergulat dengan sketch book, membuat strategi dan memilih-milih spot tembok. Mengendap, menghirup racun aerosol, berjaga-jaga dan menyiapkan sepatu yang baik untuk lari ketika ada ancaman.

Sebuah kesempatan untuk mereka berkaca, berkomunikasi dan berbicara sebagai bomber dan kolektif bomber. Momen berkomunikasi dengan keluarga bomber lain. Kesempatan untuk kembali berkomunikasi dengan para MC, DJ dan para Breakers sebagai bagian dari komunitas Hiphop. Perayaan kecil untuk kembali berkomunikasi, bertukar gagasan dengan warga bandung, kota di mana mereka tinggal dan menghasilkan banyak keterasingan yang mendorong veteran mereka untuk memulai tradisi ini sepuluh tahun lalu, dengan banyak komunitas lain di Bandung ketika mereka berbagi momen merayakan kemenangan warga Bandung me-reklaim lingkungan dan tempat tinggal mereka yang harus se-manusia mungkin bagi mereka persis seperti saat mereka mengambil kesempatan berpartisipasi mengecat satu desa urban di Babakan Asih.

Momen perenungan dan berkomunikasi bagi siapapun yang terasing di sebuah kota, dimana hanya mereka yang punya uang dan properti yang memiliki kesempatan untuk menyimpan pesan dan tanda apapun yang mereka mau. Seolah mereka adalah penguasa kota, memiliki komunitas, berhak berekspresi apapun, menyimpan billboard dimanapun, iklan di tembok manapun, mengkomodifikasi apapun.

Pameran ini bukan pameran seni jalanan. Namun persis seperti karya Shake yang dengan sadar membuat sebuah tembok paradoks di pameran ini, seolah sebuah statement pengingat bahwa pameran mereka yang sebenarnya adalah diluar sana. Tembok di dalam tembok adalah sebuah ironi yang harus ada manfaatnya, apakah dalam bentuk kesenangan yang sepadan atau sebagai media komunikasi dan refleksi seperti halnya piece-piece mereka diluar sana.

Ucok aka Morgue Vanguard

A former bomber, a long-time friend of FAB family, A forever B-Boy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar